Harap Tunggu...
0812-8080-2150 | Hubungi Kami

Masuk Sebagai Jamaah

Belum Terdaftar? Daftar

Industri Umroh dan Kritik Keras: Alarm untuk Berbenah Bagi PPIU

  • Home
  • Berita
  • Industri Umroh dan Kritik Keras: Alarm untuk Berbenah Bagi PPIU

Image

Disusun oleh: Dutarizkia Tour & Travel

Industri perjalanan ibadah umroh (PPIU) kembali jadi sorotan. Kritik yang dilontarkan tidak ringan: kontribusinya dianggap kecil terhadap UMKM, pemilik biro hanya menikmati keuntungan pribadi, bahkan ada yang menuding biro umroh memanfaatkan ketidaktahuan jamaah. Sebagian pihak menilai, PPIU tidak memberi pemasukan berarti bagi negara, tidak menyerap tenaga kerja, dan hanya jadi lahan bisnis segelintir orang. Kritik keras ini membuat sebagian pihak bahkan mendorong legalisasi umrah mandiri. Sebagai Ketua Bidang Litbang DPP AMPHURI, saya memandang kritik ini penting dikaji, bukan untuk defensif, tetapi untuk meluruskan fakta dan mencari peluang perbaikan.

Melihat dari Dua Sisi

Dari sisi internal, rata-rata PPIU memang hanya memiliki 3–10 pegawai tetap. Pemasukan pajak juga relatif kecil, karena sebagian besar biaya paket mengalir ke luar negeri, terutama tiket, hotel, dan visa. Namun, tidak adil jika semua PPIU disamaratakan. Memang ada oknum pemilik biro yang berfoya-foya, tetapi itu tidak mencerminkan keseluruhan industri.

Potensi Ekonomi Umroh

Data Kementerian Agama mencatat jumlah jamaah umroh Indonesia tahun 2023 mencapai 1,2 juta orang. Dengan rata-rata biaya Rp30–35 juta per paket, perputaran dana industri ini mencapai Rp40 triliun per tahun. Benar, 60–70% biaya itu terserap di Arab Saudi. Namun, sisanya tetap beredar di dalam negeri. Seragam jamaah dipesan dari penjahit lokal, koper dari Tanggulangin, percetakan dokumen, katering manasik, transportasi ke bandara, hingga asuransi, mayoritas melibatkan UMKM. Riset internal AMPHURI bahkan memperkirakan, setiap 100 jamaah umroh memicu belanja domestik hingga Rp500 juta. Artinya, kontribusi riil terhadap UMKM tidak kecil.

Mengapa Kritik Muncul?

Tiga hal utama membuat kritik “kontribusi kecil” tetap kuat:

  1. Struktur biaya dominan impor. Porsi terbesar untuk maskapai dan hotel asing.
  2. Integrasi UMKM lemah. Banyak biro masih memilih pemasok besar daripada usaha kecil lokal.
  3. Kurang riset resmi. Tanpa data akademik, kritik lebih cepat menyebar dibanding apresiasi.

PERBAIKAN-PPIU

Kritik Sebagai Alarm

Pelaku industri umroh menyadari tata kelola masih menjadi PR besar. Masih ada biro nakal yang memungut biaya dari fitur gratis. Masih ada pemilik yang lebih mementingkan citra pribadi.  Namun, justru inilah momentum perbaikan. Bayangkan jika ada regulasi yang mewajibkan PPIU membeli perlengkapan dari UMKM lokal, seragam dari penjahit daerah, dan katering dari usaha rumahan. Industri ini bisa menjadi motor penggerak ekonomi rakyat.

Membalik Kritik Jadi Peluang

Industri umroh memiliki keunikan: ia lahir dari niat ibadah. Karena itu, orientasinya seharusnya bukan hanya keuntungan, tetapi juga kemaslahatan. Dengan tata kelola yang jujur dan profesional, umroh bisa menjadi ekosistem yang menghubungkan jamaah, biro, UMKM, dan negara. Pemerintah bisa memberi insentif bagi biro yang terbukti memberdayakan UMKM. Asosiasi juga harus tegas menjaga integritas anggotanya, bukan sekadar melobi regulasi.

Penutup

Apakah benar industri umroh tidak berkontribusi pada UMKM? Tidak sepenuhnya benar. Kontribusinya memang belum optimal, tapi potensinya sangat besar. Dengan lebih dari 1 juta jamaah per tahun dan dana Rp40 triliun yang berputar, umroh bukan bisnis kecil-kecilan. Kritik keras harus dilihat sebagai alarm untuk berbenah. Inilah saatnya industri umroh berubah dari sekadar bisnis keluarga menjadi ekosistem yang memberi manfaat nyata bagi jamaah, UMKM, dan ekonomi nasional.

#Ke Baitullah Semakin Mudah


Partner Airline Domestik & Internasional